Friday 13 March 2015

MENAKLUKKAN 1.717 mdpl

Mendaki, kata yang selalu terngiang-ngiang sejak masa duduk di bangku sekolah menengah pertama. Tapi seakan enggan terwujud karena ketakutan dan kekhawatiran yang menari-nari di pikiran. Begitulah perasaan yang timbul sebelum akhirnya berhasil menyelesaikan pendakian 1.717 mdpl. Gimana ga khawatir dan takut, pemberitaan di media tentang pendaki yang meninggal ataupun hilang saat mendaki jadi sedikit menciutkan nyali untuk melakukan pendakian, walaupun itu angan-angan yang belum kesampaian.

Awal februari 2015, kekhawatiran dan ketakutan jadi hilang setelah beberapa kawan mengajak untuk mendaki di Gunung Batur yang terletak di Kintamani, Bangli, Bali. Dengan persiapan super seadanya saya meng-iyakan ajakan tersebut. Berbekal 2 botol besar air mineral dan sebungkus roti yang di kemas dalam sebuah tas ransel berukuran sedang saya dan beberapa kawan memulai pendakian dari kaki gunung Batur pukul 01.30 dini hari. Karena beberapa kawan baru pertama kali melakukan pendakian (termasuk saya) jadi beberapa kali kita beristirahat sejenak. Medan yang dilalui luar biasa, mulai dari yang landai, agak menanjak, menanjak, super menanjak, gelap, hutan, berbatu, berpasir, ber semen, (eh ber semen ga ding, emang lagi di toko material...hahaha), semua dilewati dengan energi maksimal. Tapi enegi yang dikeluarkan ga sebanding dengan semangat yang super besar dari pendaki pemula seperti saya. Biarpun udah ngos-ngosan, tetep bersemangat sampai di puncak sebelum mentari pagi terbit di ufuk timur.

Saya cukup beruntung saat pendakian, karena bulan saat itu sedang bersinar terang. Walaupun tidak bisa menyinari jalanan, tapi setidaknya saat rombongan sampai di pinggang gunung dan menoleh ke belakang, awan-awan tipis di tengah kegelapan mulai nampak dekat, dan danau yang terletak di bawah gunung mulai tampak keren banget. Itu makin membuat rasa penasaran akan pemandangan yang saya yakin lebih luar biasa di puncak gunung semakin besar. Kaki makin di genjot maksimal saat mendekati area puncak.

Sekitar pukul 04.30 saya dan rombongan tiba di puncak. Saat itu sekeliling masih gelap, beberapa rombongan pendaki lain juga ada disana untuk menanti senyuman manis dari matahari pagi. Sembari menunggu matahari terbit, saya harus menghadapi tantangan dinginnya puncak gunung dengan slop tangan yang basah karena area yang dilalui agak basah setelah diguyur hujan sebelumnya, dan pakaian yang basah oleh keringat, sehingga badan jadi lebih dingin.


Sejam menunggu, sinar berwarna orange mulai menintip di balik gunung yang berdekatan dengan gunung batur. Pendaki yang lain mulai mencari spot yang bagus untuk foto selfie, foto landscape, atau hanya sekedar menikmati keindahan ciptaan tuhan ini dan merekamnya dengan mata dan hati mereka (aisshh sedaaappp...). Saya tentunya ga mau ketinggalan dong, selain karena sinar mentari pagi, awan tebal yang bergumpal-gumpal bak gulali kapas enggan buat di lewatkan . Mulai dari selfie, gruvie, rumpi, semua dijabanin, karena momen yang jarang-jarang bisa ditemui. Pokoknya keren banget.

Ketika matahari mulai meninggi, saya dan rombongan bergegas turun gunung. Saya dan rombongan di pandu oleh Herby Septiyanda yang memang cukup makan asam garam dalam hal daki mendaki (walaupun kadang galau kalau harus mendaki hati wanita). Oya hampir lupa memperkenalkan rombongan yang luar biasa yang ikut pendakian ini. Ada Herby (lelaki yang didapuk sebagai pemandu pendakian ini, suka galau karena baru aja berpisah dengan kekasih hati, dan sampai sekarang belum juga move on). Ayik (perempuan hitam manis berperawakan sedang yang akhir-akhir ini jadi gendutan karena sibuk ngurusin program-program remaja. Baru-baru ini menemukan tambatan hati yang sebelumnya di-php-in dulu, terus diajak jadian). Pasek Ayu (calon perawat dengan segudang semangat buat tau segala hal, walaupun terkadang di bully sama kawan-kawannya). Megayana (lelaki lulusan matematika yang aktivitas sehari-harinya adalah buang gas, mungkin kalau ada investor yang pengen bikin pembangkit listrik tenaga gas bisa menghubungi Megayana). Diah Ganaki (perempuan yang bentar lagi lulus kuliah keperawatan rela ngeksis dimana-mana walaupun kalau secara logika situasi ga memungkinkan, pokoknya eksis sist...cek IG kita sist). Aya (perempuan yang lagi galau memilih antara mantan atau gebetan atau keduanya, jangan rakus woii). Angga (lelaki tangguh saat mendaki walaupun baru pertama kali menjajal gunung. Doyan banget main kartu Yu Gi Oh, ga ngerti deh tu mainnya gimana, yang pasti rela keluar duit banyak cuma buat ngumpulin itu kartu), dan beberapa kawan lainnya yang usia dan semangatnya sangat-sangat me-Remaja... hehehe



Oke lanjut ke proses turun gunung, pemandu kami memilih rute yang cukup ekstrim (bagi saya) karena harus melewati jalanan kecil bersandingkan jurang di kanan dan kiri, melewati tebing-tebing curam, dan melalui jalanan turunan nan berpasir hitam. Sekali lagi energi benar-benar di dukung oleh semangat dan kekaguman akan pemandangan yang terpampang nyata saat perjalanan turun. Awesome!!! Ga bisa diungkapin dengan peribahasa apapun. Walaupun harus kewalahan melewati tebing-tebing dan batu-batu, tapi ini keren banget. Saya yang awalnya protes karena turun melewati rute yang berbeda saat naik berterima kasih atas suguhan yang luar biasa ini. Mungkin kalau dinikmati sambil menyeruput coklat hangat dan nasi campur akan semakin sempurna (kondisi saat turun gunung, perut sudah mulai memutar musik keroncong, jadi bayangannya ga jauh-jauh dari makanan dan minuman).

Akhirnya tiba kembali di pos awal saat berangkat mendaki dengan perasaan lelah, senang, lapar, ngantuk, gembira, yang bercampur jadi satu. Keren banget, kereeeeeeeennnn banget. Norak sih, norak banget malah, tapi yang pasti akhirnya saya menaklukkan kekhawatiran saya tentang gunung. Ada beberpa hal yang saya pelajari dari mendaki. Ke-indahannya memang terletak di puncak gunung, tapi ke-seruannya berlipat ganda ketika proses mendaki dan turun gunung, itu superrrrr kereeeenn. Mudah-mudahan bisa bikin tulisan gini lagi dengan gunung yang berbeda. Hai gunung, senang mengenalmu.


3 comments:

  1. Asyik!!!! cerita dan fotonya seru bin keren dodok!
    selamat sudah menaklukan rasa takut sehingga dapat pengalaman mendaki yg luar biasa ini.
    Aku mendaki saat perayaan 17 agustusan bebrapa tahun lalu, sensasi upacara bendera dari ketinggian tetap berasa hingga kini. :') semesta selalu tahu caranya menggoreskan kenangan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah serunya, lain kali mau coba juga deh upacara bendera di puncak gunung. Tapi yang pasti rasa takut udah hilang dan nambah jadi rasa penasaran buat menjajal gunung lainnya :))

      Delete
  2. Nyontek formatnya ya, wkwkwkwk :D

    Neh, pang komen kone

    ReplyDelete

Baca juga